"Potensi pendapatan petani bisa mencapai Rp 4 miliar per hektare (ha)," ujar petani gaharu Mahmudin Sani dari Forum Gaharu Sumatra Utara, Senin (39/4).
Penentuan harga jual gaharu cukup unik. Harga ditentukan setelah dilakukan proses pembakaran. Semakin wangi aroma yang muncul, semakin tinggi pula harga gaharu tersebut. Selain wangi, ukuran kayu juga menjadi penentu harga jual komoditas gaharu.
Satu hektare (ha) lahan bisa ditanami sekitar 2.000 hingga 2.500 pohon sekali tanam. Budidaya gaharu lazim ditemui di hutan Kalimantan, Sumatera dan Papua. Gaharu produksi hutan hutan Indonesia juga langganan ekspor ke negara Taiwan, Cina dan Arab Saudi. Di Cina, tumbuhan gaharu dipakai sebagai dupa untuk keperluan upacara adat. Gaharu juga menjadi campuran favorit untuk pewangi ruangan, baik yang sudah dalam kemasan ataupun masih alami.
Pemerintah menyatakan dukungan penuh untuk pengembangan industri ini. Sebelumnya Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan berjanji untuk mendukung dari sisi kebijakan regulasi hutan. Dia mengatakan akan menyederhanakan sistem agar masyarakat mudah membudidayakan hasil hutan dari kegiatan penanaman. Termasuk dalam hal ini yaitu tidak mempersulit pengangkutan gaharu.
Pemanfaatan komoditas kayu tanaman dikatakan lebih mudah dibandingkan dengan kayu hutan alam. Potensi ekonomi gaharu pun cukup besar karena harganya mahal. Di tingkat global, harga gaharu mencapai Rp 300 juta per kilogram (kg). "Gaharu banyak digunakan sebagai aromatherapi di Cina dan Timur Tengah," ujar Menhut.
Pemanfaatan gaharu diatur melalui Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.447/2003. Kementrian Kehutanan menerima setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari perdagangan tumbuhan dan satwa liar sebesar Rp 4,901 miliar. Sebanyak Rp 1,07 miliar atau 21,9 persen berasal dari perdagangan gaharu filatia. Sementara itu untuk gaharu malacensis menyumbang pendapatan sebesar Rp 659,1 juta atau 13,3 persen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar